BINTANGKU SAHABAT KU




Naira Syarifah Nugraha.
Itulah nama lengkapku, aku kerap disapa Naira atau Rara, asalkan jangan Syarif, itu nama guru olahragaku sewaktu SD. Nugraha nama keluarga besar papaku. Kini usiaku menginjak masa remaja, dan minggu depan adalah ultahku yang ke-15, aku akan menjadi remaja sungguhan minggu depan. Oh, senanganya. Rasanya tak sabar untuk minggu depan.
Mentari yang memancarkan sinar paginya setinggi tombak di langit biru yang damai, burung-burung berkicau dan bernyanyi riang membawa indahnya pagi. Setetes embun mulai berjatuhan di daun hijau segar. Kubuka jendela kamarku, kusapa seisi dunia, tak disangka mereka menyapa baik diriku yang baru terbangun dari alam mimpi. Pagi ini memang sangatv indah dengan hembusan angin segar yang menembus dari ubun-ubun haingga ujung kakiku. Aku bersiap untuk berangkat ke sekolah, buku-buku sudah tertata rapi di dalam tas, semua sudah siap termasuk menghias rambut hitam panjangku dengan jepitan rambut warna merah yang senada dengan jam tanganku.
Aku berangkat ke sekolah dengan sepeda MIO FINO pinkku. Setelah sampai di SMP 01 yang berbasis International, kuparkirkan sepedaku di deretan sepeda matic keren lainnnya dan kemudian berjalan santai menuju kelas VIII-B, yaitu kelasku.
“Olive…” panggilku pada seorang cewek berambut pirang dan berkarakter tomboy, tapi meskipun begitu dia tetap sahabatku. Aku bergegas menghampirinya dan kami berjalan ke kelas bersama. Di ruang kelas yang dibilang mewah itu sudah berkumpul anak-anak semua. Ada yang bercanda, ngerjain PR, belajar, dll.
Kelasku memang gak pernah sepi, warga kelasnya aktif semua. Tak ada satupun yang tertidur saat pelajaran atau jam kosong, kelasku juga terkenal dengan siswa-siswinya yang pandai melebihi kelas VIII-A, salah satunya adalah sahabatku Margaretha, bintang kelas selalu disandangnya setiap semester, bahkan nilainya lebih tinggi daripada bintang kelas VIII-A. Bukan hanya Margaretha sahabatku, ada Natly si tukang gossip, Olla yang tomboynya sama kayak Olive, dan si kembar Fella dan
Felly yang centilnya minta ampun. Tapi kami semua tak sepandai Margaretha, kami masih di bawah rata-rata. Meskipun begitu, Margaretha tak pernah mengeluh ketika kami minta tolong untuk mengajari kami.
“Kriiiiiing……” bel istirahat berbunyi, seperti biasa Olla selalu ke lapangan basket untuk berlatih menghadapi tournament beberapa hari lagi, sedangkan aku dan lainnya ke kantin. Sampai di kantin kami memesan apa yang kami inginkan, kecuali Margaretha, dia hanya duduk terdiam tak seperti biasanya.
“Eh guys, aku ke toilet dulu ya” pamitnya.
“Kamu gak mau dipesenin apa gitu?” tawarku.
Dia menggeleng cepat dan bergegas pergi. Jam istirahat selesai, tapi dari tadi Margaretha belum juga kembali, kami semua jadi cemas dan memutuskan untuk kembali ke kelas, kudapati di kelas Margaretha duduk manis di bangkunya, kedua telapak tangannya menutupi wajah blasteran Inggris Koreanya tersebut, tanpa komando kami langsung menggerombolinya.
“Kamu kenapa?” Tanyaku penuh perhatian pada sahabatku.
“Never mind” jawabnya sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya.
“Cerita donk!” desak Fella dan Felly.
Margaretha menarik nafas dalam-dalam yang perlahan-lahan ia keluarkan dari hidungnya. Dan aku bias mentafsirkan desahan nafas tersebut.
“Guys, please! I just wanna be alone” katanya.
“Tapi janji, ya! Kalau udah lega, kamu harus cerita!” kataku.
“Yes” Jawabnya singkat.
Sepulang sekolah, aku mengantar Margaretha pulang karena daddynya tak bisa menjemputnya, aku curiga akhir-akhir ini Margaretha selalu antar jemput dengan mommynya dan dibelakang mobil mommynya ada mobil sang daddy. Tapi kecurigaanku itu segera kuhilangkan, aku mencoba untuk berpositive thinking saja. Kuparkirkan sepeda maticku di halaman istana Margaretha.
“Pyarrr……” terdengar suara guci yang pecah dari dalam rumah super mewah tersebut.
Margaretha bergegas masuk dan kecurigaanku semakin kuat, lalu aku diam-diam mengintip dari jendela, meski kutahu ini tidak sopan. Betapa kagetnya aku, ketika kedua orang tua Margaretha bertengkar hebat, kulihat Margaretha menangis di tengah-tengah pertengkaran yang kian memanas tersebut.

“Daddy… Mommy… Please, stop it!” teriaknya.
Tapi sayang kedua orang tuanya tak menghiraukan teriakannya tersebut, mereka malah melanjutkan pertengkaran adu mulut mereka. Aku merasa iba terhadap sahabatku dengan terpaksa memasuki rumah super mewah tersebut. Melihatku memasuki rumahnya tanpa izin, Margaretha langsung menghampiriku, aku fikir dia akan memarahiku atas kelancanganku ini tapi malah sebaliknya dia dia memelukku erat dan tangisnya semakin deras seiring dengan memanasnya pertengkaran kedua orang tuanya tersebut. Lalu kuajaknya dia keluar dari rumah yang sudah seperti neraka dan kelihatannya dia sedikit tenang.
“Ra, kamu mau gak nganter aku ke gereja?” pintanya.
“Apa sih yang gak buat sahabatku.” Jawabku.
“Thanks, ya. Kamu memang sahabat yang baik.” Meski kami berbeda keyakinan, namun itu tidak menjadi permasalahan buat kami, diantara kami hanyalah aku dan Olla yang beragama Islam, yangselebihnya seagama dengan Margaretha. Kami semua saling menghormati satu sama lain, tidak pernah kami bertengkar gara-gara masalah perbedaan agama. Aku hanya bisa mengantar Margaretha sampai di gerbang gereja saja, karena hari semakin sore, aku takut dimarahi mama. Apalagi aku belum sholat ashar.
Setelah menunaikan ibadah sholat ashar berjama’ah dengan keluargaku, tak lupa kuberdo’a untuk Margaretha agar ia diberi kesabaran dan semua masalahnya capat selesai.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku selalu menceritakan semua yang kualami hari ini pada mama, tak terkecuali tentang Margaretha, mamaku turut kasihan pada Margaretha yang keluarganya sedang mengalami broken home, ditambah lagi beberapa hari yang lalu kak Romi, kakak Margaretha masuk penjara gara-gara kasus narkoba. Kedua orang tua Margaretha tak peduli dengan keadaan putra-putri mereka. Mereka hanya memikirkan diri sendiri. Untung saja di tengah-tengah keluarganya yang sedang broken home, Margaretha tetap menjadi bintang bagi keluarganya, apalagi semakin hari sinarnya semakin terang. Aku salut dengan dia, dia mampu bertahan di tengah-tengah kondisi keluarganya yang sedang kacau. Aku bersyukur pada Tuhanku, Allah, karena keluargaku tidak ditakdirkan seperti keluarga Margaretha. Memang dia berlinang harta yang tak terhitung, beda denganku yang hidup serba sederhana, namun kaya kasih sayang.

Ra, aku di depan rumahmu.
 
Di malam yang cerah ini, dengan langit bertabur bintang, berhias sinar bulan yang terang menyinari malam. Kubuka jendela kamarku, kutatap bulan yang terang di atas sana, di tanganku ada sebuah kitab suci umat Islam, yakni AL-QUR’AN AL-KARIIM. Mama membiasakanku untuk membacanya tiap selesai sholat, hatiku merasa tenang dan bahagia ketika membaca ayat perayat yang mengandung makna yang sangat dahsyat, di tengah-tengah kumembacanya, HPku bergetar diatas meja, kulihat ada satu message dari Margaretha.


Setelah aku membacanya, aku bergegas keluar kamar menuju gerbang depan, terlihat di depan sana Margaretha berdiri dan wajahnya terlihat kusut.
“Ayo, Tha, masuk” ajakku sambil merangkulnya berjalan memasukki rumahku yang sederhana.
“Eh, ada Margaretha, kapan dating ka,u, nak?” Tanya mamaku dengan ramahnya.
“Baru aja, tante.” Margaretha mencoba menyembunyikan kesedihannya yang ia derita saat ini di depan mamaku.
“Ma, Margaretha mau nginep sini boleh ya?” tanyaku pada mama.
“Tentu sayang.” Jawab mama singkat.
Margaretrha tidur bersamaku. Aku sungkan kalau dia tidak nyaman dengan kamarku yang tidak seluas dan semewah kamarnya, tapi syukurlah dia tidak mempermasalahkannya.
Margaretha bercerita panjang lebar kepadaku dan mama tentang keluarganya yang hancur bak dihantam tsunami besar. Semua berawal dari om Yudi, beliau mempengaruhi tante Jandi untuk menjual setengah saham milik perusahaan kepadanya, awalnya tante Jandi (Mommy Margaretha) tidak mau, tapi om Yudi tak pantang menyerah, beliau menggunakan ilmu hypnotis yang ia miliki. Alhasil setengah saham milik perusahaan tante Jandi raib, hal tersebut diketahui oleh om Mite (Daddy Margaretha), beliau marah besar pada istrinya, beliau berniat menceraikan istrinya bila saham yang raib itu tidak kembali dan berencana membawa Margaretha dan kak Romy kembali ke kampong halamannya. Beberapa hari setelah kejadian tersebut, kak Romy terseret kasus narkoba yang harus mengurungnya di balik buih.
Sore itu, sepulang sekolah Margaretha atau yang sering disapa Atha oleh keluarganya mengajak kami semua menengok sang kakak di balik buih. Setelah
menunggu beberapa lama di ruang tunggu, muncullah seorang cowok berusia 17 tahun dengan wajah yang babak belur dan badan yang sedikit kurus, itulah sosok kak Romy sekarang. Seminggu mendekam di penjara, membuat dirinya berubah 180 derajat, kulitnya yang putih berseri keturunan dari mommynya menjadi sedikit kecoklatan, wajahnya yang tampan bagai pangeran Inggris tahun 2015 berubah drastic menjadi sedikit berkumis, terdapat garis-garis kerutan di bawah kelopak matanya, rambutnya yang merah jagung di kombinasikan dengan gaya rambut khas Italia yang keren kini jadi awut-awutan dan tak tertata rapi, maklumlah cowok bernama lengkap Romy Reanaldi ini sewaktu masih menghirup udara bebas, dia sering melakukan perawatan rutin yang harganya selangit.
“Idih, kak Romy jadi jelek gitu sih! Gak jadi ngefans dech!!” cetus Felly asal ceplos tanpa berfikir sambil mengibaskan rambutnya yang mirip rambut Yona personil SNSD.
“Felly….!!” Maki kami bersama kecuali Margaretha, ia sedih melihat kondisi sang abang yang sangat ia sayangi, yang selalu menghapus air matanya ketika menangis. Ketampanannya yang selalu ia kagumi kini berubah drastic.
Kakak beradik itu berpelukkan erat saling melepas rindu, berkomunikasi melalui hati tentang kepedihan masing-masing, membuat yang melihat terharu, tetes air mata kami pecah melihat pemandangan yang indah itu. Perlahan tangan kak Romy menghapus air mata kepedihan yang membasahi pipi adik kesayangannya, keduanya duduk berhadapan saling bertukar cerita. Beban yang dipikul kak Romy bertambah berat setelah mendengar cerita sang adik tentang keluarganya yang porak poranda mendekati kehancuran. Akibat pertengkaran itu, mereka berdua menjadi korban. Jam besuk sudah habis, saatnya kedua putra mahkota terpisah.
Akhir-akhir ini, Margaretha sering pingsan tak ada satupun anggota keluarganya yang tahu. Dia menyimpan sebuah rahasia besar kepada kami, rahasia yang akhirnya kuketahui meski kuharus jadi detektif. Semua semakin parah, mommy dan daddy Margaretha resmi berpisah, dia bersama sang ibunda di Indonesia, di sebuah rumah yang mungil, sebuah rumah yang tak seindah dahulu saat masih indah bersama keluarganya. Sedangkan sang kakak sudah bisa menghirup udara bebas, kini dia berada di sebuah rumah yang tak kalah mewah dengan rumahnya yang dulu, tapi apalah arti kemewahan tanpa kasih sayang dari kedua orang tua.

Meskipun sudah resmi berpisah, kedua orang tua Margaretha tetap berseteru hebat. Seiring dengan pertengkaran itu penyakit yang diderita Margaretha semakin parah, ia memintaku dan yang lainnya untuk tidak bercerita pada siapapun, terlebih keluarganya. Mala mini adalah malam perayaan ulang tahunku, aku tak bisa berbahagia sepenuhnya melihat derita sahabatku. Saat kutiupkan lilin ke-15, Margaretha yang berdiri di sampingku tergeletak tak berdaya di lantai dan tubuhnya terasa dingin. Kami mendapati denyut nadinya tak lagi berdetak, pendarahan di otaknya sudah merenggut nyawa seorang bintang.
Pagi itu tampak berkabut, suasana duka dan haru pilu mewarnai TPU, setelah kehilangan putrid mahkota, daddy dan mommynya sadar betapa berharganya seorang anak di sisi mereka. Aku turut menangis di samping pusara sahabatku bersama seluruh anggota keluarganya. Sepeninggalan bintang keluarga, kedua orang tua Margaretha rujuk kembali dan berjanji tidak akan mengukang semua yang telah terjadi. Mereka semua menetap di Inggris untuk selamanya. Aku bisa merasakan rasa kehilangan itu, aku menyesal, mengapa waktu itu aku tidak bilang saja pada keluarganya tentang kondisi bintang mereka yang paling terang.

~ The End ~

Comments