Hari ini aku berada di sini sebuah sekolah yang namanya asing di
telingaku. Aku hanya tertegun melihat lingkuingan sekitar ini yang sangat
religius, lantunan suara yang indah membuatku terbuai. Dua minggu yang lalu papa
resmi menikah dengan seorang muslimah berjilbab. 3 minggu sebelum pernikahan
itu, aku dan papa resmi memeluk agama Islam, agama mama tiriku. Sebenarnya aku
setengah hati untuk menjadi mu’alaf
karena aku sayang pada papa dan aku terlanjur menerima dia menjadi ibu
tiriku.
Semenjak kehadiran ibu aku tak pernah
bangun kesiangan lagi. Ibu selalu membangunkanku ketika adzan berkumandang dari
masjid yang berjarak dua rumah saja dari rumahku. Mula-mula aku marah tiap kali
ibu membangunkanku untuk sholat berjama`ah di Masjid. Ibu tidak pernah marah
ataupun mengeluh dengan sikapkku yang bandel, tidak seperti mendiang mama yang
setiap hari marah-marah padaku yang aku lakukan di matanya selalu salah aku
tahu itu bentuk cinta kasih mama untuk putra semata wayangnya.
Aku berdiri di depan kaca memandangi
bayangan diriku yang begitu tampan. Baju seragamku sudah rapi. Hari ini aku akan menjadi seorang muslim
satu-satunya di SMA SANTO PAULUS. Aku menuruni tangga sambil bersiul-siul
riang. Entah mengapa hari ini aku merasa bahagia.
“Kamu mau ke mana Farel?” Tanya ibu
padaku yang baru bergabung di ruang makan. Aku mengerutkan dahi. Aneh sekali
rasanya orang mau sekolah ditanya.
“Sekolah dong bu…” jawabku setelah
melahap sesendok nasi
“Farel bolos salah, farel sekolah salah,
apa orang Islam gak boleh sekolah?” sambungku. Ibu tersenyum manis sekali
semanis madu.
“Mulai hari ini kamu bukan siswa SMA
SANTO PAULUS lagi” ucapan ibu seolah petir di siang bolong. Aku menghentikan
kunyahanku. Aku melongo menatap ibu yang masih tersenyum.
“Hari ini kamu gak usah sekolah dulu,
nanti sehabis dhuhur ibu mau ajak kamu ke suatu tempat. Insya Allah kamu akan
suka.”
“Ok dech bu ….Farel nurut aja sama ibu.”
“Anak yang pintar” ujar ibu sambil
membelai rambutku.
Siti Khodijah, dialah ibu tiriku. Saat
dia sudah masuk dalam kehidupanku aku merasa sangat bahagia. Figur ibu yang dua
tahun telah kurindukan terobati olehnya.
Adzan dhuhur berkumandang dengan
indahnya. Kalau dulu aku sangat membenci lantunan yang bergema indah ini, kini
aku menyukainya dan sangat aku rindukan. Taqwa putih pertamaku pemberian ibu
dan sarung serta peci berwarna hitam telah ku kenakan. Saatnya berangkat menuju
masjid bersama tetanggaku Ujang. Dari ibu aku belajar banyak tentang Islam.
Selain itu ada Ujang teman satu kelasku sewaktu SD juga turut serta mengajariku
tentang Islam.
Sesuai dengan janji ibu tadi pagi,
sebenarnya aku sudah menebak ibu akan mengajakku ke sekolah yang kemarin kami
datangi. Ibu berbincang-bincang dengan seorang bapak-bapak. Sepertinya ibu
sudah akrab dengan bapak-bapak yang memakai jubah putih dan peci putih tersebut
“Nama kamu siapa nak?” Tanya bapak itu
padaku
“Michael Yohanes Farel”
“Mulai besok Farel sudah bisa sekolah. Di
sini masuknya jam 12 siang” ujar bapak itu padaku.
“Berarti paginya aku bisa ke mall dong”
ceplosku.
“Kalau pagi kamu belajar ngaji di
Pesantren” tutur ibu.
Madrasah AL IMAN tempatku menimba ilmu
saat ini. Karena aku seorang mu’alaf aku harus mengulang kelas satu. Padahal
kurang beberapa bulan lagi aku bias menginjak bangku perkuliahan. Madrasah AL
IMAN ini mempunyai keistimewaan antara lain :
di Madrasah ini tidak ada mata pelajaran umum hanya matematika, bahasa
Indonesia, IPA, bahasa Inggris dan IPS, di Madrasah ini, kesehariannya
menggunakan bahasa arab, di Madrasah ini jenjang pendidikannya 6 tahun.
Bukan hanya aku yang berubah semenjak ibu
hadir, tapi papa juga. Papa yang dulu sering pulang larut malam, kini tepat
pada waktunya. Dan yang teristimewa papa lebih sering menghabiskan waktu
bersama keluarga ketimbang berhura-hura di luar. Meskipun begitu aku takkan pernah lupa dengan
mendiang mama dan aku masih menyayangi beliau ada dan tiada.
Aku sedang membantu ibu membereskan
kitab-kitab injil yang ada di rumah ini dan berbagai patung salib Yesus
kristus, bunda maria, dikemas menjadi satu dus dan disimpan di gudang. Ibu
sedang sibuk mendekorasi rumah dengan nuansa Islam. Alhasil aku harus berangkat
seorang diri menuju ke Pesantren. Pesantren AL IMAN tempat aku menimba
ilmu. Di sini aku belajar ilmu-ilmu dasar Islam, seperti membaca al-Quran, belajar
sholat dan mengetahui hukum-hukum agama Islam. Sungguh benar-benar tak kusangka
selama ini kitab suci yang kupelajari yaitu injil adalah salah besar. Contohnya
saja dalam injil dikatakan bahwa hukum agama adalah kutukan. Dan nyatanya semua
doktrin agama Kristen tidak berdasar sama sekali. Baru satu kitab yang kubaca
tentang Islam aku sudah meneteskan ribuan air mata. Betapa sesatnya diriku
dahulu. Injil yang selama ini aku pelajari adalah injil perjanjian baru yang
isinya 100 persen kebohongan bukan injil yang asli dari nabi Isa. Aku sungguh
menyesal, apakah Allah mengampuni dan menerima aku sebagai hamba-Nya?.
Alhamdulillah sudah satu tahun aku
memeluk dan merasakan nikmatnya Islam. Kalau dulu aku bercita-cita sebagai
rahib, karena seluruh keluarga besar Yohanes adalah Rahib terkemuka di tanah
Indonesia, dan mendiang mamaku adalah
biarawati terkenal di Indonesia, kini keinginan itu aku buang
mentah-mentah dan sekarang aku bertekad menjadi rahib Islam alias Ustadz.
Aku sedang bimbang karena besok orang tua
almarhumah akan berkunjung. Mereka berasal dari keluarga Rahib yang terkenal
serta cendikiawan Kristen yang hebat, mereka sangat membenci Islam.
“Pa….. apa kita harus berpura-pura
menjadi Kristen?” tanyaku pada papa yang terlihat santai seolah persoalan ini
bukan persoalan yang besar.
“Tidak perlu” jawab papa santai
“Kenapa Pa?”
“Kita hamba Allah, bukan hamba kristus”
timpal ibu dari ruang sholat kemudian beliau melanjutkan membaca al-Quran lagi
“Percayalah putraku, Allah pasti membantu
kita”
Akhirnya hari yang mengerikan itu datang.
Jarum jam menunjuk pada pukul 09.00 pagi seperti aktifitas setiap hari yaitu
sholat Dhuha berjama’ah di ruang sholat sambil menunggu tamu istimewa datang.
Tepat saat selesai sholat Dhuha oma datang bersama tante Maria adik dari
mendiang mama yang juga seorang
biarawati. Air muka mereka berubah gusar melihat kami berpakaian muslim.
“Salom” ujar mereka berdua.
“Wa’alaikum salam” jawab kami serempak.
“Apa kabar kamu Antoni? Kudengar kamu
menikah lagi?” Tanya oma bagai terkaman srigala cakarnya sangat menusuk hati.
“Alhamdulillah, saya masih dalam
lindungan Allah. Ya benar bu.” Jawab papa tenang.
Oma melirik ke arah ibu yang duduk di
samping papa dan tante Maria menatap ku tajam.
“Apa kabar kamu Farel ? semoga kamu masih
dalam lindungan Yesus” sindir tante Maria, aku bingung harus menjawab apa,
akhirnya keputusan untuk bersikap tenang
seperti yang dilakukan papa dan aku
percaya Allah selalu hadir untuk ku.
“Alhamdulillah tante, Farel baik dan
Farel masih dalam lindungan Allah,” jawabku begitu tenang. “Tante dan oma apa
kabar?” tanyaku untuk mencarkan suasana tegang.
“Setan apa yang mempengaruhi kalian
sehingga kalian kafir, kalian sungguh mempermalukan keluarga besar Yohanes
terutama kamu Farel, kamu tahu sendiri bahwa mendiang mama mu biarawati
terkenal kesalihannya, apa kata orang kalau tahu putra biarawati yang sangat
salih dan pernah bertemu dengan tuhan adalah seorang kafir” tutur oma, dalam
hati aku terus berdzikir mengumandangkan asma Allah.
“Yesus bukanlah tuhan, dia manusia biasa
yang mati ditiang salib. Dan di dunia pun tidak pernah ada manusia yang bisa
melihat tuhannya bahkan nabi Muhammad pun tidak pernah” sahut ibu dengan begitu
santai tanpa rasa takut pun menghadapi macan dihadapanya.
“Lancang sekali engkau mengatakan tuhan
Yesus adalah manusia, atas dasar apa wahai perempuan kafir engkau mengatakan
hal seperti itu?” serang tante Maria.
“Al-Qur’an” jawab ibu singkat.
“Kafir bododh !!! Tuhan telah
mengorbankan putra satu-satunya untuk disalib demi menebus dosa semua manusia”
solot oma.
“Tuhan itu Esa, tidak mempunya ibu dan
bapak serta tidak diperanakkan. Dan al-Qur’an menyatakan dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.
Ibu memang orang yang cerdas dan ibu juga
menguasai Islam, beliau juga pernah mebaca sekilas tentang Injil yaitu Injil
Matius (Perjanjian Lama) dan beberapa macam Injil.
“Cukup sudah !!!” bentak oma, kali ini
aku benar-benar ketakutan, bibirku tak mau berhenti berkomat-kamit mengucapkan
do’a agar selamat dari terkaman srigala berwujud biarawati.
“Kalian harus kembali ke jalan Kristus,
semoga roh Kudus memberikan tetesan rahmat kepada kalian yang terkutuk” maki
oma.
“Tidak perlu Bu…, kami sangat bahagia
dengan Islam” bela Papa.
“Baik, kamu boleh dengan Islam tapi aku
takkan biarkan cucuku Farel mengikuti jejak sesat kamu, Farel terlahir untuk
menjadi Rahib”.
Oma menyeretku peksa mengikuti langkah
kaki Oma, syukurlah ibu menarik sebelah tanganku dan berhasil mengembalikanku
ke dalam pelukannya.
“Maaf tuan, Farel sudah berada di jalan
yang benar”
“Tahu apa kau perempuan terkutuk” Tante
Maria mendorong ibu hingga kepalanya membentur pintu dan berdarah banyak.
“Ibu…” rengekku sambil mendekap ibu, aku
merasakan tidak ada hembusan nafas dari ibu lagi. Aku menangis sejadi-jadinya
menerima kenyataan bahwa aku akan kehilangan figure ibu untuk kedua kalinya,
tapi di sisi lain aku merasa bahagia lantaran ibu pergi dengan husnul khotimah
membela agama Allah.
“Bukankah dasar dari agama Kristus adalah
cinta? Bukankah kalian biarawati yang patuh dan sangat meneladani sikap Yesus?”
papa berkata sambil menahan tangis kesedihan, kehilangan sosok bidadari dunia
yang membawa kami ke jalan yang benar.
“Semua yang kau katakana itu benar
sekali” tante Maria menyombongkan diri, dia tak merasa bersalah sama sekali
atas kepergian ibu tiriku.
“Dalam cinta tak ada saling membunuh. Dan
Yesus pun tidak pernah memebunuh atau berperang, lantas mengapa kau bunuh
manusia yang tak berdosa ini ?” bela papa, sementara itu papa sibuk beradu
mulut dengan oma dan tante Maria, aku berusaha menghubungi polisi dan rumah
sakit. Oma dan tante Maria mengatupkan bibir rapat-rapat tak bias menjawab
argumentasi yang dilontarkan papa, bertepatan saat itu polisi dating dan
langsung meringkus oma dan tante Maria atas kasus hak asasi dan pembunuhan.
Ambulance baru saja dating dan langsung membawa ibu ke rumah sakit. Ibu pergi
dengan membawa senyuman dan meninggalkan kami. Bukan hanya kami yang
di-Islamkan melalui ibu tapi keluarga besar papa juga, kami merasa sangat
kehilangan atas kepergian ibu ke pangkuan Ilahi.
Comments
Post a Comment