SAYA BUKAN NABI




Matahari sore dihiasi langit orange yang kan kembali ke peraduannya menemaniku yang sedang beriktikaf di masjid menunggu datangnya waktu sholat maghrib. Bibir hati berkomat-kamit menyenandungkan asma Allah. Aku tak pernah bosan melakukan ini, bahkan aku sanggup duduk berjam-jam menyenandungkan kalimat-kalimat terindah yang ditujukan kepada Allah Tuhan yang Maha Kuasa. Aku bernafas karena-Nya dan degup jantunng ini  atas kuasa-Nya. Jarum jam yang panjang berhenti di angka 12 sedangkan yang pendek menginjakkan kaki tepat di angka 6. Aku bergegas meraih microphone dan aku mulai berseru adzan untuk semua manusia untuk mengingatkan mereka bahwa Allah telah menunggu mereka dan bersiap member pahala bagi mereka yang menunaikan sholat.
Hari ini aku resmi menjadi wisudawan UIN Maulana Malik Ibrahim fakultas syariat Islam. Usai acara wisuda aku sungkemkepada rector dan dosen-dosen lainnya, berkat jasa mereka aku menjadi lulusan terbaik tahun ini.
“Kak Ilham ……” suara seorang gadis memanggilku. Aku taka sing dengan suara itu. Lala berlari kecil menghampiriku yang akan memasuki taxi.
“Kak selamat ya ….. kakak berhasil menjadi lulusan terbaik” ucapnya dengan riang.
“Sama-sama, ini juga berkat doa kamu”
“Kakak balik ke Kalimantan kapan?”
“Besok” air mukanya berubah sedih ketika aku menjawab pertanyaannya
“Gak bisa diundur ?”tanyanya dengan penuh harap. Aku tersenyum padanya.
“Gak bisa, keluarga udah nunggu soalnya 4 tahun gak ketemu”
“Ya sudah, semoga perjalanannya lancer” ujarnya.
Aku memasuki taxi. Aku menjulurkan kepala dan tanganku keluar, melambaikan tangan untuknya sekaligus pertemuan terakhir.
Lala seorang mahasiswi semester 6 Universitas Brawijaya fakultas kedokteran. Aku bertemu dengannya ketika dia melakukan penelitian di Taman Safari. Saat itu aku sedang melaksanakan tugasku sebagai tukang sapu di Taman Safari. Tanpa sengaja pada waktu itu Iphone lala jatuh tepat di depanku. Aku mengejarnya hingga dapat dan mengembalikan Iphonenya. Semenjak itu ak dan Lala berteman. Selain menjadi tukang sapu di Taman Safari aku juga berprofesi sebagai Mu’adzin di masjid kampusku. Inilah hal yang paling aku suka selama menjajah ilmu di UIN Maliki Malang.
Semua teman-teman yang sekamar kost denganku sudah pulang ke rumah masing-masing. Hanya tinggal aku yang masih singgah di kamar ini. Aku mulai mengemasi barang-barangku agar besok tidak kerepotan. Ini hari terakhirku menjadi Mu’adzin di masjid UIN Maliki Malang. Ku gunakan kesempatan terakhir ini dengan sungguh-sungguh. Mungkin tempat ini yang akan sangat kurindukan. Usai jama’ah sholat iIsya’ aku menyempatkan diri berbincang-bincang sebentar dengan ketua ta’mir masjid sekaligus berpamitan dan meminta maafbila aku punya kesalahan.
Pagi-pagi buta setelah sholat shubuh aku berangkat menuju bandara Juanda dengan menggunakan taxi yang ku sewa. Dalam perjalanan aku sudh membayangkan bahagia yang kurasakan di kampunghalamanku, yang sudah 4 tahun tidak kujumpai.
Pukul 07.00 pagi pesawat yang ku tumpangi mendarat di bandara Supadio di daerah Pontianak. Aku harus menaiki taxi untukmmenuju kampong halamanku yang berada di kota Singkawang kecamatan Sejangkung. Rasanya sudah tak sabar ingin cepat-cepat tiba di rumah. Berjam-jam aku ada di taxi tak sekalipun aku memejamkan mata. Hanya rona bahagia yang terlukis di raut wajahku. Taxi tak bias mengantarku lebih jauh lagi. Aku harus naik angkot menuju desaku yang permai. Gapura Desa sudah terlihat di depan mata, di sinilah aku mulai berjalan beberapa langkah untuk menuju rumah mungil ku. Rumah berpagar hijau dengan banyak tanaman di halamannya dan cat dinding berwarna putih suci, aku mempercepat langkahku memasuki rumah itu. Setelah aku mengetuk pintu tiga kali keluarlah wanita separuh baya membukakan pintu untuk ku.


“Ilham putra ku” ujar beliau lalu memelukku erat penuh kerinduan, aku membenamkan wajah di pelukan umi ku yang sudah 4 tahun tidak pernah kupeluk.
“Ilham akhirnya kamu pulangjuga naak” ujar ibu sambil membawaku masuk ke dalam rumah, suasana di rumah tidak ada yang berubah mesih tetap sama. Kepulanganku disambut oleh umi dan adik-adikku dengan suka cita, mereka bangga kepadaku setelah ku ceritakan bahwa aku adalah lulusan terbaik UIN Maliki Malang. Setelah sholat Dhuhur aku menyempatkan diri berziarah ke makam almarhum abi, tak lupa aku mengajak serta keempat adikku.
Baru tiga jam aku berada di rumah aku merasakan kejanggalan amat sangat mendalam. Aku memutuskan untuk beri’tikaf di masjid yang berjarak 8 rumah dari rumah ku. Saat aku berjalan menuju  masjid semua orang menatapku tajam dan saling berbisik-bisik, mungkin mereka pangling dengan ku. Setelah di masjid aku tersentak kaget, masjid di depanku seperti bukan masjid. Kumuh penuh dengan sarang laba-laba. Aku mengambil sapu dan mulai membersihkan masjid Al Aziz tercinta. Dengan hati yang ikhlas aku mensucikan kembali masjid Al Aziz. Aku berfikir selama ini masyarakat sholat di mana? Dan apa yang terjadi dengan masjid ini ? beribu pertanyaan bersarang di benakku. Pukul 15.00 tiba waktunya Ashar microphone masjid rusak. Aku merobek selembar kalender. Aku naik menuju menara masjid dan mengumandangkan adzan dengan penuh hidmat. Setelah itu aku turun dan beriktikaf sebentar untuk menunggu jama’ah lainnya. Setelah setengah jam aku menunggu jama’ah hanya dtang 2 orang saja. Mereka memintaku untuk menjadi imam, alas an mereka belum hafal surat pendek dalam jjuz amma.
“Maaf nama kamu siapa? Dan tinggal di mana? Tanya seorang bapak kepadaku usai jama’ah
“Saya Ilham Winata, saya tinggal di rumah no 7”
“Astaganaga, kamu Ilham putranya almarhum Andry” ujarnya dengan riang.
“Maaf paka, bukan astanaga tapi astaghfirullahaladzim” aku mengingat kan bapak itu, terlihat bapak itu malu dan sungkan.
“Pak kenapa masjid ini kok jadi tidak terurus ?” tanyaku sepontan, bapak itu menceritakan kejadian tentang masjid ini dari awal. Sungguh hatiku menangis teriris-iris mendengar cerita dari bapak itu. Setelah mendengar cerita itu aku bertekat mengubah desa ini seperti dahulu, desa yang penuh dengan nuansa relegius Islami.
Aku mulai merubah desa ini dari hal yang terkecil seperti halnya mengajak belajar mengaji seluruh masyarakat usai jama’ah Maghrib. Aku juga membentuk panitia Takmir Masjid dengan aku sebagai ketuanya meskipun aku bersanding dengan orang-orang yang jauh lebih dewasa usianya dari pada diriku. Aku tetap menghormatinya dan bersikap santun. Alhamdulillah usahaku mendapat apresiasi positif dari masyarakat bahkan setiap harinya jama’ah semakin bertambah sampai masjid penuh, banyak yang berminat belajar mengaji bukan hanya dari kalangan anak kecil bahkan dari kalangan manula pun masih bersemangat mengaji. Aku merasa usahaku sebentar lagi berhasil.
Pagi-pagi sekali aku mendengar suara rebut sekali di depan rumah, aku keluar untuk memeriksa keadaan, banyak warga yang membawa papan seperti layaknya unjuk rasa.
“Hei nabi palsu pergi kamu dari desa ini ….” Seru pak Lurah.
“Saya bukan nabi, saya hanyalah manusia biasa dan apa yang bapak maksud dengan nabi palsu ?” sangkal ku.
“Bohong, maksud kamu apa menyeru orang-orang pergi mengaji dan berjama’ah sehingga membuat hasil panen desa ini menurun” ujar pak lurah
“Saya hanya menebar kebaikan. Apa salahnya? Dan soal panen menurun itu urusan Allah yang mengatur rezeki hamba-Nya. Belaku.
“Apakh bapak Islam?” tanyaku selanjutnya
“Tentu saja. Tapi kami tidak butuh jama’ah hanya membuang waktu bekerja saja” sahut salahg satu golongan pak lurah
“Anda semua salah besar. Jama’ah sangat diutamakan, pahalanya lebih besar daripada sholat sendiri-sendiri.” Emosiku tidak bias dikontrol lagi tapi aku harus tetap sabar seperti mendiang  Rosulullah SAW. Yang sabar menghadapi  kaum kafir quraisy.
“Bagaimana kalau kita taruhan? Golongan jama’ah dan golonganku siapa yang mendapat harta terbanyak adalah pemenangnya” tantang pak lurah kepadaku
“Maaf pak Islam melarang bertaruh atau mengundi nsib”
“Bilang saja kalau kamu malu andaikata  kamu kalah” cibir pak lurah
“Terserah apa kata bapak saja. Silahkan bapak-bapak bubar dari sini.”
Perlahan-lahan orang-orang itu pergi meninggalkan halaman rumahku dengan sedikit cibiran yang membuatku menebalkan iman
Semenjak kejadian pagi itu jama’ah yang shoalt di masjid Al Aziz semakin bertambah banyak. Bahkan ada juga seorang yang dulu sangat menentanngku kini menjadi aktivis pengurus takmir masjid. Allah benar-benar menunjukkan kuasanya, golongan pendukung pak lurah perlahan mulai surut dan mulai menginjakkan kaki di jalan yang benar dan mulai sadar atas kuasa Allah.
Mimpiku menjadikan desa ini dengan nuansa religious akhirnya menjadi kenyataan. Bahkan pak lurah yang dulu sangat menentang ajakanku untuk sholat, tiba-tiba berubah fikiran dan memintaku mengajarinya membaca al Quran secara privat.
Sudah dua tahun aku tidak berjumpa dengan kota Malang. Disamping itu aku juga merindukan Lala. Mungkin sekarang dia sedang menjalani acra wisuda dan resmi menjadi dokter.
Tiba-tiba saja pak lurah mengundangku untuk makan malam di rumahnya sekaligus ada hal yang akan dibicarakan. Usai makan malam bersama di rumah pak lurah bersama staf-staf pengurus desa yang lainnya, pak lurah membuat pengumuman.




Comments